I.
PENDAHULUAN
Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995. Manajemen perkotaan
adalah pengelolaan sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang
tata ruang, lahan, ekonomi, keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa,
investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta disebutkan pula bahwa
pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola perkotaan.
Maka secara sederhana manajemen kota adalah suatu upaya
proses pelaksanaan rencana kota untuk mencapai sasaran pembangunan kota secara
efisien dan efektif. Manajemen kota diperlukan dalam perencanaan karena
perencanaan merupakan kegiatan yang rumit, komplek dan melibatkan banyak
sektor, bidang dan stakeholder. Selain itu, manajemen kota juga meliputi
kesejahteraan masyarakat di dalam kota.
Fungsi-fungsi manajemen kota meliputi kegiatan-kegiatan
yang berhubungan dengan perkembangan kota, penyediaan pelayanan perkotaan,
pembangunan infrastruktur, pelayanan sosial, dan regulasi masyarakat.
Manajemen kota seharusnya mengelola dan mengatur
infrastruktur maupun fasilitas pelayanan perkotaan, tetapi masih banyak sekali
kota yang belum menjadi kota inklusif. Padahal menurut Kepala Bappenas, Bapak
Bambang Brodjonegoro (2017) salah satu syarat untuk menjadi kota liveable adalah menjadi kota yang
inklusif.
Kota yang inklusif adalah kota yang terbuka bagi semua
kalangan masyarakat, yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dari segara
kalangan, segala usia, segala gender dan kelompok rentan, dan kota yang dapat
diakses semua orang. Dan Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional pun telah mendukung inisiasi para wali kota
yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) untuk
menjadikan daerahnya menjadi kota inklusif.
Walaupun
telah didukung oleh Bappenas, perwujudan dari kota inklusif tetaplah merupakan
hal yang seulit untuk dilakukan. Lalu, manajemen perkotaan yang seperti apa
yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kota yang inklusif? Dan apakah mungkin
untuk mewujudkan kota yang inklusif?
II.
Gambaran
Umum Isu
Inklusifitas
kota yang sering terjadi disekitar kita adalah kurangnya fasilitas-fasilitas
umum yang ramah terhadap para kaum rentan. Kaum rentan adalah lansia, disable
dan anak-anak. Kota yang akan menjadi studi kasus pada artikel ini adalah Kota
Yogyakarta.
Kota
Yogyakarta adalah kota yang berada di provinsi DI Yogyakarta dengan luas
sebesar 32,5 km2. Dan pemerintah kota Yogyakarta pun telah
mencanangkan untuk menjadikan Kota Yogyakarta menjadi kota yang inklusi.
Tetapi, apakah Kota Yogyakarta telah menjadi kota yang inklusi?
Berdasarkan data BPS Kota Yogyakarta tahun 2018, pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta tiap tahun selalu meningkat. Peningkatan jumlah penduduk ini, tidak dibarengi oleh peningkatan jumlah lahan. Maka wilayah yang semakin padat akan mengakibatkan pada penurunan kualitas hidup masyaratnya. Kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta sendiri pada tahun 2018 adalah sebesar 13.007 jiwa/km2. Berikut ini adalah diagram pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta:
Gambar 1. Pertumbuhan penduduk di
Kota Yogyakarta
Sumber:
BPS Kota Yogyakarta, 2018
Selain pertumbuhan penduduk yang tiap tahun semakin meningkat, jumlah penduduk lansia dan bayi balita di Kota Yogyakarta juga memiliki angkat yang lumayan tinggi. Penduduk lansia adalah penduduk dengan usia di atas 60 tahun. Berdasarkan data BPS Kota Yogyakarta tahun 2018, jumlah penduduk lansia di Kota Yogyakarta adalah sebesar 10,27% dan jumlah penduduk bayi dan balita di Kota Yogyakarta adalah sebesar 6,52%. Berikut ini adalah diagram jumlah penduduk di Kota Yogyakarta berdasarkan umur:
Gambar 2. Jumlah penduduk di Kota
Yogyakarta berdasarkan Umur
Sumber:
BPS Kota Yogyakarta, 2018
Berdasarkan data tersebut dapat
dilihat bahwa jumlah lansia dan bayi di Kota Yogyakarta cukup banyak. Oleh
karena banyaknya jumlah penduduk lansia dan bayi tersebut maka pembangunan kota yang inklusi, yang
dapat memenuhi kebutuhan masyarakat semua golongan, sangat diperlukan.
Dari berita-berita online yang
didapatkan, Kota Yogyakarta dinilai belum termasuk kota yang ramah terhadap
anak dan lansia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH)
maupun infrastruktur yang ramah pada lansia dan difabel. Berikut ini adalah
berita-berita online tersebut:
Gambar 3. Berita tentang Kota
Yogyakarta yang dinilai belum ramah anak dan lansia
Sumber:
TribunJogja.com
III.
Penutup
A.
Solusi
Terdapat beberapa solusi
yang dapat diterapkan di Kota Yogyakaerta untuk mewujudkan inklusifitas dalam
sebuah kota, solusi yang pertama adalah dengan membangun RTH ramah untuk semua
kalangan termasuk ramah untuk kelompok rentan. Kota Yogyakarta hanya memiliki
jumlah ruang terbuka hijau sebesar 18% dari standar yang seharusnya yaitu 30%.
Maka, perlu dibangun ruang terbuka hijau yang memiliki fasilitas bermain untuk
anak, fasilitas olahraga untuk para lansia, fasilitas jalan dan toilet untuk
para kelompok disable, penerangan taman yang baik sehingga menurunkan tingkat
kriminalitas, dan kemudahan untuk mengakses RTH tersebut.
Kemudian, solusi
lainnya adalah dengan membangun infrastuktur tambahan untuk para lansia atau
kelompok disable di semua fasilitas-fasilitas umum. Seperti menambahkan jalur pejalan
kaki yang ramah untuk kelompok disable dan lansia. Lalu juga membuat
transportasi umum lebih ramah pada kelompok disable, seperti menambahkan jalur
khusus kursi roda, jalur khusus kelompok disable, lift khusus kelompok disable,
dan lainnya. Selain itu juga membuat lebih banyak fasilitas pendidikan untuk
kelompok disable, sehingga kelompok disable juga dapat mengenyam pendidikan
yang sama.
Solusi lainnya adalah
dengan mengadakan pelatihan maupun penyuluhan untuk berwirausaha, karena
terdapat bannyak komunitas wirausaha maupun komunitas disabilitas di Kota
Yogyakarta. Selain itu, pelatihan wirausaha juga dapat diadakan untuk
menurunkan jumlah pengangguran di Kota Yogyakarka. Selain pelatihan dan penyuluhan,
dapat juga dibuat pameran-pameran hasil karya dari para komunitas-komunitas di
Kota Yogyakarta, sehingga dapat semakin memperkenalkan yang diharapkan juga
dapat meningkatkan kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap produk-produk lokal
.
B.
Kesimpulan
Kesimpulannya
adalah inklusifitas pada sebuah kota dapat diwujudkan dengen pengelolaan kota
yang baik. Pengelolaan kota tersebut dapat berupa pembangunan RTH ramah
kelompok rentan, pembangunan infrastuktur untuk kelompok disable di
fasilitas-fasilitas umum, membuat fasilitas umum lebih dapat dijangkau semua
kalangan, serta dengan meningkatkan peluang dalam berwirausaha yang diharapkan
dapat menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.





