Sabtu, 19 Oktober 2019

Inklusivitas; mungkinkah?


I.                   PENDAHULUAN

Menurut SK Mendagri No. 65 tahun 1995. Manajemen perkotaan adalah pengelolaan sumber daya perkotaan yang berkaitan dengan bidang-bidang tata ruang, lahan, ekonomi, keuangan, lingkungan hidup, pelayanan jasa, investasi, prasarana dan sarana perkotaan; serta disebutkan pula bahwa pengelola perkotaan adalah para pejabat (Pemerintah) pengelola perkotaan.

Maka secara sederhana manajemen kota adalah suatu upaya proses pelaksanaan rencana kota untuk mencapai sasaran pembangunan kota secara efisien dan efektif. Manajemen kota diperlukan dalam perencanaan karena perencanaan merupakan kegiatan yang rumit, komplek dan melibatkan banyak sektor, bidang dan stakeholder. Selain itu, manajemen kota juga meliputi kesejahteraan masyarakat di dalam kota.

Fungsi-fungsi manajemen kota meliputi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan perkembangan kota, penyediaan pelayanan perkotaan, pembangunan infrastruktur, pelayanan sosial, dan regulasi masyarakat.

Manajemen kota seharusnya mengelola dan mengatur infrastruktur maupun fasilitas pelayanan perkotaan, tetapi masih banyak sekali kota yang belum menjadi kota inklusif. Padahal menurut Kepala Bappenas, Bapak Bambang Brodjonegoro (2017) salah satu syarat untuk menjadi kota liveable adalah menjadi kota yang inklusif.

Kota yang inklusif adalah kota yang terbuka bagi semua kalangan masyarakat, yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakatnya dari segara kalangan, segala usia, segala gender dan kelompok rentan, dan kota yang dapat diakses semua orang. Dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional pun telah mendukung inisiasi para wali kota yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) untuk menjadikan daerahnya menjadi kota inklusif.

Walaupun telah didukung oleh Bappenas, perwujudan dari kota inklusif tetaplah merupakan hal yang seulit untuk dilakukan. Lalu, manajemen perkotaan yang seperti apa yang dapat dilakukan untuk mewujudkan kota yang inklusif? Dan apakah mungkin untuk mewujudkan kota yang inklusif?



II.                Gambaran Umum Isu

Inklusifitas kota yang sering terjadi disekitar kita adalah kurangnya fasilitas-fasilitas umum yang ramah terhadap para kaum rentan. Kaum rentan adalah lansia, disable dan anak-anak. Kota yang akan menjadi studi kasus pada artikel ini adalah Kota Yogyakarta.

Kota Yogyakarta adalah kota yang berada di provinsi DI Yogyakarta dengan luas sebesar 32,5 km2. Dan pemerintah kota Yogyakarta pun telah mencanangkan untuk menjadikan Kota Yogyakarta menjadi kota yang inklusi. Tetapi, apakah Kota Yogyakarta telah menjadi kota yang inklusi?


Berdasarkan data BPS Kota Yogyakarta tahun 2018, pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta tiap tahun selalu meningkat. Peningkatan jumlah penduduk ini, tidak dibarengi oleh peningkatan jumlah lahan. Maka wilayah yang semakin padat akan mengakibatkan pada penurunan kualitas hidup masyaratnya. Kepadatan penduduk di Kota Yogyakarta sendiri pada tahun 2018 adalah sebesar 13.007 jiwa/km2. Berikut ini adalah diagram pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta:

Gambar 1. Pertumbuhan penduduk di Kota Yogyakarta

Sumber: BPS Kota Yogyakarta, 2018


            Selain pertumbuhan penduduk yang tiap tahun semakin meningkat, jumlah penduduk lansia dan bayi balita di Kota Yogyakarta juga memiliki angkat yang lumayan tinggi. Penduduk lansia adalah penduduk dengan usia di atas 60 tahun. Berdasarkan data BPS Kota Yogyakarta tahun 2018, jumlah penduduk lansia di Kota Yogyakarta adalah sebesar 10,27% dan jumlah penduduk bayi dan balita di Kota Yogyakarta adalah sebesar 6,52%. Berikut ini adalah diagram jumlah penduduk di Kota Yogyakarta berdasarkan umur:


Gambar 2. Jumlah penduduk di Kota Yogyakarta berdasarkan Umur

Sumber: BPS Kota Yogyakarta, 2018

            Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa jumlah lansia dan bayi di Kota Yogyakarta cukup banyak. Oleh karena banyaknya jumlah penduduk lansia dan bayi tersebut  maka pembangunan kota yang inklusi, yang dapat memenuhi kebutuhan masyarakat semua golongan, sangat diperlukan.

            Dari berita-berita online yang didapatkan, Kota Yogyakarta dinilai belum termasuk kota yang ramah terhadap anak dan lansia. Hal ini disebabkan oleh kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) maupun infrastruktur yang ramah pada lansia dan difabel. Berikut ini adalah berita-berita online tersebut:















Gambar 3. Berita tentang Kota Yogyakarta yang dinilai belum ramah anak dan lansia

Sumber: TribunJogja.com



III.             Penutup

A.                Solusi

Terdapat beberapa solusi yang dapat diterapkan di Kota Yogyakaerta untuk mewujudkan inklusifitas dalam sebuah kota, solusi yang pertama adalah dengan membangun RTH ramah untuk semua kalangan termasuk ramah untuk kelompok rentan. Kota Yogyakarta hanya memiliki jumlah ruang terbuka hijau sebesar 18% dari standar yang seharusnya yaitu 30%. Maka, perlu dibangun ruang terbuka hijau yang memiliki fasilitas bermain untuk anak, fasilitas olahraga untuk para lansia, fasilitas jalan dan toilet untuk para kelompok disable, penerangan taman yang baik sehingga menurunkan tingkat kriminalitas, dan kemudahan untuk mengakses RTH tersebut.

Kemudian, solusi lainnya adalah dengan membangun infrastuktur tambahan untuk para lansia atau kelompok disable di semua fasilitas-fasilitas umum. Seperti menambahkan jalur pejalan kaki yang ramah untuk kelompok disable dan lansia. Lalu juga membuat transportasi umum lebih ramah pada kelompok disable, seperti menambahkan jalur khusus kursi roda, jalur khusus kelompok disable, lift khusus kelompok disable, dan lainnya. Selain itu juga membuat lebih banyak fasilitas pendidikan untuk kelompok disable, sehingga kelompok disable juga dapat mengenyam pendidikan yang sama.

Solusi lainnya adalah dengan mengadakan pelatihan maupun penyuluhan untuk berwirausaha, karena terdapat bannyak komunitas wirausaha maupun komunitas disabilitas di Kota Yogyakarta. Selain itu, pelatihan wirausaha juga dapat diadakan untuk menurunkan jumlah pengangguran di Kota Yogyakarka. Selain pelatihan dan penyuluhan, dapat juga dibuat pameran-pameran hasil karya dari para komunitas-komunitas di Kota Yogyakarta, sehingga dapat semakin memperkenalkan yang diharapkan juga dapat meningkatkan kesadaran dan kecintaan masyarakat terhadap produk-produk lokal

.

B.                 Kesimpulan

Kesimpulannya adalah inklusifitas pada sebuah kota dapat diwujudkan dengen pengelolaan kota yang baik. Pengelolaan kota tersebut dapat berupa pembangunan RTH ramah kelompok rentan, pembangunan infrastuktur untuk kelompok disable di fasilitas-fasilitas umum, membuat fasilitas umum lebih dapat dijangkau semua kalangan, serta dengan meningkatkan peluang dalam berwirausaha yang diharapkan dapat menurunkan angka kemiskinan dan pengangguran.